A.
Pendahuluan
Kebudayaan yang kita kenal dengan istilah
‘peradaban’, mengandung pengertian yang luas dan pemahaman perasaan suatu
bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum,
adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota
masyarakat[1]. Para
ahli banyak yang menyelidiki tentang berbagai macam kebudayaan. Dari
penyelidikan tersebut memunculkan dua pemikiran yang berbeda tentang kemunculan
suatu kebudayaan atau peradaban. Pertama, anggapan bahwa adanya hukum kesamaan
baik dari pemikiran maupun perbuatan seorang individu. Kedua, beranggapan bahwa
tingkat kebudayaan dan peradaban muncul sebagai akibat taraf perkembangan dan
hasil evaluasi masing-masing proses sejarahnya. Yang kedua ini sendiri tidak
luput dari konteks sejarah, dan perlu dicatat pula bahwa kedua pendapat ini
tidak lepas dari kondisi alam juga. Alam terus berjalan dan tidak jenuh dengan keadaan yang tidak pernah ada
ujungnya. Sebab diantara keduanya ada keterkaitan, dan jika dilihat dari proses
berjalannya sejarah, sebagaimana yang diketahui bahwa sejarah bukan hal yang
mengikat, tetapi merupakan kondisi ilmu pengetahuan, agama, seni,
adat-istiadat, dan kehendak semua masyarakat. Namun, Kroeber dan Klukhon (1950)
mengatakan bahwa kebudayaan terdiri atas
berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang
diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun
pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
didalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas
cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan
terhadap nilai-nilai[2]. Dapat
dikatakan, bahwa kebudayaan tidak lepas dari manusia, sangat kontras dan
berhubungan erat. Jika tidak ada manusia maka budaya pun tidak ada(tidak
tercipta) dalam lingkungan. Mengapa demikian? Karena setiap tingkah laku yang
dilakukan oleh baik itu individu maupun sekelompok orang tanpa disadari maupun
tidak disadari minimbulkan berbagai kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan itu
sendiri bersifat universal (menyeluruh) dan dapat diterima oleh pendapat umum.
Umumnya kebudayaan adalah sesuatu yang berharga atau baik yang harus dijaga dan
sudah menjadi leluhur untuk semua orang.
Sebelumnya, dalam dialektika kita tentang kebudayaan
yang wawasannya begitu luas, maka perlu dipahami terlebih dahulu
kerangka-kerangka yang ada dalam kebudayaan itu sendiri. Diantaranya : konsep
kebudayaan, wujud kebudayaan, unsur kebudayaan, sistem budaya, sistem sosial,
kebudayaan fisik, dan lainnya.
1.
Konsep
Kebudayaan
Dilihat
dari konsep kebudayaannya sendiri, Koentjaraningrat[3]
menggunakan istilah ‘kebudayaan’ yang berasal dari Sansakerta –budhayah, bentuk jamaknya adalah budhi
yang berarti “budi” atau “akal”[4].
Dengan kata lain kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan
akal”.
Menurut
dimensi wujudnya, ada 3[5] :
·
Kompleks gagasan,
konsep, dan pikiran manusia : Wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak,
tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya.
Sistem ini tidak terpecah atau terbentuk dalam kepingan-kepingan yang terlepas,
melainkan saling berkaitan berdasarkan asas-asas yang erat hubungannya,
sehingga menjadi hubungan yang relative mantap dan kontinyu.
·
Kompleks aktivitas,
wujud ini disebut system sosial karena tidak terlepas dari sistem budaya.
Bentuknya berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret
dapat diamati atau diobservasi. Aktivitas ini ditentukan oleh gagasan dan
pikiran yang ada di kepala manusia, dan karena adanya interaksi dari manusia,
maka hal ini dapat menimbulkan gagasan, konsep dan pikiran baru serta mustahil
untuk tidak menerima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang
berinteraksi tersebut.
·
Wujud sebagai benda.
Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan
peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas
karya manusia tersebut menghasilkan
benda untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang
kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai
pada benda yang bergerak.
Unsur-Unsur
Kebudayaan[6]
Menurut konsep B. Malinowski, ada
tujuh kebudayaan unsur universal :
o Bahasa
o Sistem
teknologi
o Sistem
mata pencaharian
o Organisasi
sosial
o Sistem
pengetahuan
o Religi
o Kesenian
Koentjaraningrat menggambarkan
bentuk persepsi masyarakat tentang kebudayaan dalam bagan lingkaran. Mengapa bagan
lingkaran? karena untuk menunjukkan bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis.
Lingkaran itu akan terbagi menjadi tujuh sektor, dan tanpa menghilangkan
ketujuh unsurnya yang universal itu pula. Tiap-tiap unsur kebudayaan itu akan
terbagi dalam wujud kebudayaan, yaitu
sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Ketiganya ini merupakan
kerangka budaya. Tapi dikhususkan bahwa, sistem budaya dan sistem sosial merupakan
sistem yang secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih banyak dibahas
dalam kajian sosiologi, sedangkan sistem budaya banyak dikaji dalam disiplin
pengetahuan budaya[7].
a. Sistem
Budaya
Sistem
budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya (cultural system) merupakan ide-ide dan
gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Sistem budaya
sendiri merupakan bagian dari kebudayaan, yang diartikan sebagai adat-istiadat.
Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, dan norma-norma itu
sendiri menurut pranata-pranata yang ada didalam masyarakat termasuk norma
agama. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan
serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan
melalui pembudayaan atau institutionalization.
Kebudayaan sebagai penciptaan dan
perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik, personal dan
sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat[8].
Jelaslah yang menentukan adalah kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai
yang wajar. Unsur kebudayaan hasil penciptaan dan perkembangan nilai[9]
meliputi: Kebudayaan Subjektif dan Objektif[10].
b. Sistem
Sosial
Teori
sistem sosial di perkenalkan pertama kali oleh Talcot Parsons[11].
Konsep sistem sosial merupakan konsep relasional sebagai pengganti konsep
eksistensional perilaku sosial. Konsep sistem sosial adalah alat pembantu untuk
menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Tiap-tiap sistem sosial terdiri
atas pola-pola perilaku tertentu yang mempunyai struktur dalam dua arti, yaitu
: pertama, relasi-relasi sendiri antara orang-orang bersifat agak mantap dan
tidak cepat berubah; kedua, perilaku-perilaku mempunyai corak atau bentuk yang
relatif mantap.
Sebelumnya,
kita masuk dulu dalam kiprah sosial atau bisa disebut dengan sosiologi itu
sendiri. Menurut Hassan Shadily, sosiologi adalah ilmu masyarakat atau ilmu
kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau
masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau
masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebaisaan, kepercayaan atau
agamanya, tigkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang
meliputi segala segi kehidupannya[12].
Menurut
Parsons, dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat empat hal,
yaitu[13]:
§ Dua
orang atau lebih
§ Terjadi
interaksi diantara mereka
§ Bertujuan
§ Memiliki
struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Parsons
menambahkan lagi, bahwa sistem sosial dapat berfungsi apabila dipenuhi empat
persyaratan fungsional, yaitu :
Ø Adaptasi,
menunjuk pada keharusan bagi system-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya.
Ø Mencapai
tujuan, bersamaan dengan sistem sosial ini merupakan, bahwa sebuah tindakan
diarahkan pada tujuan-tujuannya.
Ø Integrasi,
merupakan persyaratan yang berhubungan dengan 20interelasi
antara para anggota dalam sistem sosial.
Ø Pemeliharaan
pola-pola tersembunyi, konsep 21latensi
pada berhentinya interaksi akibat keletihan dan kejenuhan sehingga tunduk pada
system sosial lainnya yang mungkin terlibat.
2.
Hegel dan Pemikirannya
tentang Sosiologi dalam kiprah Komunikasi
Dilihat
dari pemikiran Karl Marx[14]
bahwa dia tidak pernah lepas dari kajian komunikasi pemikiran Hegel. [15]Pemikiran
Hegel yang paling utama dalam melahirkan pemikiran-pemikiran tradisional
konflik dan kritis adalah ajarannya tentang dialektika dan idealisme.
Dialektika itu sendiri lebih menekankan cara berfikir yang lebih dinamis. Di
sisi lain, dialektika adalah pandangan tentang dunia bukan tersusun dari
struktur yang statis, tetapi terdiri dari proses hubungan, dinamika konflik,
dan kontradiksi. Pemahaman dunia semacam inilah, yang kemudian melahirkan
gagasan-gagasan tentang komunikasi seperti apa yang dikemukakan oleh Jurgen
Habermas (Guru besar filsafat dan sosiologi di Frankfurt) dengan tindakan
komunikatifnya. Hegel juga dikaitkan dengan filsafat idealisme yang lebih
mementingkan pikiran dan produk mental daripada kehidupan material. Idealisme
merupakan produk berfikir yang menekankantidak saja pada proses mental namun
juga gagasan-gagasan yang dihasilkan dari proses mental (Ritzer:2004).
Pemikiran Habermas itu sendiri berbeda dengan pemikiran Marx, jika Marx dia
lebih cenderung kepada potensi manusia, spesies makhluk, dan aktivitas yang
berperasaan. Menurut Habermas, Marx telah gagal membedakan antara dua komponen
analitik yang bebeda, yaitu kerja (tenaga kerja, tindakan rasional-purposif), dan
interaksi (aksi komunikatif) sosial (simbolis). Diantara kerja dan ineraksi,
Marx hanya membahas kerja saja dengan mengabaikan interaksi sosial. Disepanjang
tulisannya, Habermas menjelaskan perbedaan ini, meski ia cenderung menggunakan
istilah tindakan (kerja) rasional-purposif dan tindakan komunikatif (interaksi)[16].
Ditambahkan lagi dengan pemikiran John Dewey[17],
yang dikenal dengan filsafat pragmatiknya.
Pragmatisme sendiri menolak dualisme pikiran dan materi, subjek dan objek[18].
Jadi, gagasan-gagasan seharusnya bermanfaat, pesan-pesan ide harus tersampaikan
dan memberikan kontribusi pada tingkat perilaku orang. Pesan ide membentuk
tindakan dan perilaku dilapangan.
Onong Uchyana mengatakan komunikasi sebagai proses
komunikasi pada hakikatnnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan
seseorang (komunikator) kepada orang
lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan
lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian,
keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang
timbul dari lubuk hati[19].
Jadi, lingkup komunikasi menyangkut
persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan substansi interaksi sosial
orang-orang dalam masyarakat, termasuk konten interaksi (komunikasi) yang
dilakukan secara langsung maupun dengan menggunakan media komunikasi.
3.
Sosiologi
komunikasi
Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi
merupakan kekhususan sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial yaitu suatu
hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruh-mempengaruhi
antara para individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok. Menurut
beliau juga bahwa, sosiologi komunikasi mempunyai kaitan dengan public speaking yakni bagaimana
seseorang berbicara kepada publik.
Secara komperehensif, sosiologi komunikasi
mempelajari tentang interaksi sosial dengan segala aspek yang berhubungan
dengan interaksi tersebut, seperti bagaimana interaksi (komunikasi) itu
dilakukan dengan menggunakan media, bagaimana efek media sebagai akibat dari
interaksi itu sendiri, sampai dengan bagaimana perubahan-perubahan sosial
dimasyarakat yang didorong oleh efek media berkembang serta konsekuensi sosial
macam apa yang di tanggung masyarakat sebagai akibat dari perubahan yang
didorong oleh media massa itu.
Komunikasi
didalam masyarakat dibagi dalam 5 jenis[20] :
1. Komunikasi
individu dengan indidvidu (komunikasi antar pribadi)
2. Komunikasi
kelompok
3. Komunikasi
organisasi
4. Komunikasi
sosial
5. Komunikasi
massa
Dan yang menjadi pembahasan adalah komunikasi massa
itu sendiri, dimana Komunikasi Massa menurut McQuail[21]
adalah komunikasi yang berlangsung pada tingkat masyarakat luas. Pada tingkat
ini komunikasi dilakukan dengan menggunakan media massa. Selanjutnya McQuail
sendiri mengatakan ciri-ciri utama komunikasi massa, sumbernya adalah
organisasi formal dan pengirimnya adalah yang professional, pesannya beragam
dan dapat diperkirakan, pesan diproses dan distandarisasikan, pesan sebagai
produk yang memiliki nilai jual dan makna simbolik, hubungan antara komunikan
dan komunikator berlangsung satu arah, bersifat impersonal, non moral dan
kalkulatif.
Teknologi Telematika
|
Proses dan Interaksi sosial
|
Budaya
Kosmopolitan
|
Komunikasi
|
Individu kelompok
Masyarakat dunia
|
Efek media massa
|
Gambar 1 : Ranah Sosiologi Komunikasi
Ranah sosiologi komunikasi berada
pada wilayah individu, kelompok, masyarakat, dan system dunia. Yang dimana,
ranah ini bersentuhan dengan wilayah lain, seperti teknologi telematika,
komunikasi, proses dan interaksi sosial, serta budaya kosmopolitan. Sosiologi
komunikasi tidak sama dengan sosiologi secara umum sebab ranah sosiologi
komunikasi berbeda dengan sosiologi secara keseluruhan.
B.
Teori-Teori
yang Berkaitan
Menurut Nicholas Graham (1992:368)
yang dikutip oleh Wilhelm : “Sementara hak-hak untuk ekspresi bebas yang tidak
dapat dipisahkan dalam teori demokrasi telah terus-menerus ditekankan, apa yang
telah hilang adalah kesadaran mengenai kewajiban-kewajiban timbal balik yang
tak dapat dipisahkan dalam suatu ruang komunikasi yang mengikutinya. Pertama,
ada kewajiban untuk mendengarkan pada pandangan-pandangan orang lain dan pada
versi-versi alternative cara-cara. Kedua, partisipasi dalam debat dekat
hubungannya dengan kewajiban bagi efek-efek tindakan yang dihasilkan.
Meletzke mengatakan bahwa,
komunikasi massa adalah setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan
secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu
arah pada public yang tersebar[23].
Menyampaikan pesan kepada
masyarakat tentang nilai-nilai kebudayaan agar masyarakat tetap menjaga dan
melestarikan kebudayaan yang ada pada daerah mereka. Karena jika kehilangan
satu budaya saja, sama halnya dengan kehilangan satu indera dalam tubuh seorang
manusia. Manusia jika kehilangan satu indera sebut saja mata, maka dia tidak
bisa melihat, tidak ada kelengkapan. Sama halnya dengan kebudayaan. Seperti
katanya ‘Lenyaplah pengetahuan jika
hilang satu saja indera manusia dan apalah arti sebuah daerah jika tidak
dibumbui oleh manisnya budaya’.
Jika mengkaji lagi, Joseph A.
Devito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan
penjelasan tentang pengertian massa, serta tentang media yang digunakannya[24].
Ia mengemukakan definisinya dalam
dua item, yaitu : pertama, komunikasi
massa adalah komunikasi yang ditujukan untuk massa, kepada khalayak yang luar
biasa banyaknya . kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan
oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual.
Mengenai kebudayaan yang dilihat
dari sudut pandang Thwaites et al menjelaskan bahwa budaya adalah sekumpulan
praktik sosial yang melaluinya makna diproduksi, disirkulasikan, dan
dipertukarkan[25].
Budaya itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah nilai yang berlaku dan
dipertukarkan dalam hubungan antar manusia baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Kita tidak bisa memungkiri bahwasanya, budaya merupakan nilai-nilai
yang mucul akibat interaksi antar manusia disuatu wilayah atau negara tertentu.
Hubungan kebudayaan dengan internet bisa disebut juga dengan cyberculture
(Budaya Siber).
C.
Pembahasan
a. Asal Mula Peresean
Peresean merupakan salah satu
kebudayaan Lombok – Nusa Tenggara Barat. Suku sasak yang dikenal di pulau
Lombok sangat memperhatikan dan menjaga kebudayaannya. Salah satu kebudayaan
yang ditumbuhkembangkan dan pertahankan adalah Peresean atau dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan sebagai pelindung atau penangkis pukulan. Dan dalam permainan
ini, para pemain akan melakukan suatu pertarungan (saling pukul) dengan
menggunakan sebatang tongkat dari rotan sebagai alat pemukul dan ende[26]
untuk menangkis pukulan lawan. Peresean bisa disaksikan oleh masyarakat luas, dan
bisa juga melalui media-media sosial. Straubhaar dan LaRose (2002:24) mencatat
bahwa adanya perubahan terminology menyangkut media. Perubahan itu sendiri
berkaitan dengan teknologi, cakupan area, produksi missal (mass production),
distribusi massal (mass distribution).
Jika kita melihat pada sejarahnya,
masyarakat Lombok menyampaikan tradisi-tradisi ataupun kebudayaanya mereka
lebih dominan secara langsung. Sehingga masyarakat akan mudah memahami dan
menerima, tidak ada yang saling mencela atau bahkan mencerca kebudayaan
masing-masing. Karena di Lombok setiap desa itu kadang memiliki kebudayaan yang
berbeda, misalnya desa ‘bagik longgek’
ada acara ‘penyucian sabuk’ yang
kadang dilakukan oleh satu keluarga besar baik untuk mengobati salah satu
keluarga maupun dan didesa ‘songa’ ada acara pergi ke makam
orang-orang pendahulu, atau nenek moyang mereka.
Sebenarnya, jika kita telaah lebih
jauh lagi, budaya sasak tidak berbeda jauh dengan adat atau kebudayaan bali.
Kemungkinan besar, orang-orang Lombok masih sangat terikat kental dengan
kebudayaan, sampai-sampai orang mengira bahwa hal yang mereka lakukan kadang
syrik (menyekutukan tuhan) karena anggapan orang-orang dari luar cenderung
berbeda. Tapi itulah keyakinan dan kepeercayaan mereka. Yang namanya
kepercayaan atau keyakinan tidak bisa dipaksakan lagi.
Hanya saja, cara mereka yang
mempercayai hal-hal ghaib sebagai penyelamat mereka atau mampu mengobati
penyakit itu masih perlu dipertanyakan lagi, lebih mendekatnya mereka lebih
kearah hal yang berbau takhayul. Wallahu
a’lam.
b.
Tradisi
Teori yang digunakan
Jika
dilihat dari proses sejarahnya perisaian, orang-orang sasak menggunakan
beberapa tradisi teori yang diemban. Berikut Tradisi teori :
1. Tradisi
Sosiokultural[27]
Realitas bukanlah seperangkat
susunan diluar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi didalam kelompok,
komunitas dan budaya. Sama halnya dengan peresean sendiri, dibentuk dari asal
usul Legenda Ratu Mandalika yang konon bunuh diri karena melihat dua orang
pangeran yang bertarung sampai mati untuk memperebutkan dirinya. Tapi ada versi
yang lainnya menyatakan bahwa peresean timbul dari pelampiasan emosional para
raja sasak ketika akan atau telah selesai.
Kategori yang digunakan oleh
individu dalam memproses informasi diciptakan secara sosial dalam komunikasi,
mengikuti tradisi masyarakat suku sasak. Ada skeptisme, baik dalam perkembangan
tentang penemuan metode-metode penelitian. Sosiokultural cenderung menganut ide
bahwa realitas dibentuk oleh bahasa, sehingga apa yang ditemukan harus
benar-benar dipengaruhi oleh bentuk-bentuk interaksi prosedur penelitian itu
sendiri. Oleh karena itu dalam pendekatan sosiokultural, pengetahuan
benar-benar dapat diinterpretasi dan dibentuk.
Konteks secara eksplisit diidentifikasi
dalam tradisi ini karena penting bagi bentuk-bentuk komunikasi dan makna yang
ada. Simbol-simbol yang penting dalam interaksi apapun dianggap memiliki makna
yang berbeda ketika pelaku komunikasi berpindah dari satu situasi ke situasi
lainnya[28].
Sama halnya ketika peresean, disana memunculkan beberapa tradisi yang sudah
menjadi khas masyarakat Lombok. Penyampaian-penyampaian pesan yang dilakukan
antar pepadu seolah mencoba untuk mengingatkan masyarakat akan adat dan
kebudayaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sudut pandang yang berpengaruh
dalam tradisi ini adalah paham konstruktivisme sosial (social
constructionism). Berdasarka penelitian yang dilakukan oleh Peter Berger
dan Thomas Luckmann, paham ini biasanya dikenal dengan istilah the social construction of reality,
bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial. Identitas
benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang
digunakan, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum
mereka[29].
2. Tradisi
Fenomenologis
Istilah
phenomenon mengacu pada kemunculan
sebuah benda, kejadian, atau kondisi yang dilihat. Interpretasi merupakan
proses akal pikiran dan tindakan kreatif dalam mengklarifikasi pengalaman.
Interpretasi melibatkan maju mundur antara mengalami suatu kejadian atau
situasi dan menentukan maknanya, bergerak dari yang khusus ke yang umum dan
kembali lagi ke yang khusus, dikenal dengan istilah hermeneutic circle[30].
Kita
tidak dapat menjadi manusia tanpa menafsirkan, itu berarti bahwa pengalaman
yang kita alami bahkan dunia yang kita tafsirkan terjalin sangat erat dan
sebenarnya merupakan sesuatu yang sama. Teori Gadamer mengutamakan seseorang
untuk saling memahami pengalaman dari sudut pandang perkiraan atau asumsi.
Pengalaman, sejarah, dan tradisi memberi kita cara-cara memahami segala sesuatu
serta kita tidak dapat memisahkan diri dari kerangka interpretatif tersebut.
Sejarah bukan untuk dipisahkan dari masa kini. Kita semua bagian dari masa
lalu, berada dimasa kini, dan merasakan masa depan. Dengan kata lain, masa lalu
berjalan dalam diri kita dimasa kini dan mempengaruhi gambaran kita mengenai
apa yang akan datang. Pada saat yang sama, gagasan kita tentang realitas
memengaruhi bagaimana kita memandang masa lalu. Cara kita melihat sesuatu
dimasa kini menciptakan sebuah jarak yang bersifat sementara dari sebuah objek
masa lalu, artefak-artefak tersebut sama-sama memiliki keakraban dan keasingan[31].
Barangkali
menggunakan kedua unsur tradisi ini, sedikit membawa kita menuju bagaimana keberkaitan
antara hubungan budaya yang sangat berpengaruh dalam masyarakat. Baik dalam
kesenian ataupun adat-istiadat. Kelumrahan suatu pengaruh akan berdampak pula
pada apa yang digunakan, seperti halnya media.
Proses
penyampaian pesan untuk masyarakat luas, bisa saja melalui beberapa media.
Dimana kita tahu, bahwa masyarakat sangat rentan terhadap informasi-informasi
yang baru saja muncul, disini kita bisa melihat bahwa setiap pesan yang
disampaikan akan mempengaruhi masyarakatnya. Mungkin, kita bisa mengambil
contohnya : ketika seorang pepadu yang sudah siap bertarung dengan pepadu
lainnya, antara pepadu kidung pamungkas dengan pepadu bintang lapangan, setiap
pepadu yang mengalami kekalahan maka akan diganti dengan siapa saja yang ada
ditempat itu. Ke-antusias-an masyarakat sangat mempengaruhi, nilai budaya yang
ada tersampaikan meski kadang masyarakat yang belum terlalu mengetahui makna
pertarungan peresean hanya ikut tertawa dan biasanya saling teriak-menteriaki
antara pepadu yang menjadi jagoan masing-masing.
Kebiasaan
orang-orang mengumpulkan uang ditengah lapangan, mungkin bisa disebut juga
dengan taruhan. Suatu tradisi memang, tapi yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah, apakah tradisi tersebut akan tetap dilakukan? Meskipun itu sendiri juga
melibatkan masyarakat tingkat ekonomi rendah? Sama halnya dengan sabung ayam,
tapi kemungkinan jika kita berbicara tentang budaya maupun tradisi mungkin
arahnya akan berbeda lagi. Budaya yang harus diterapkan berdasarkan atas asumsi
sejarah masa lalu sehingga akan mengingatkan setiap masyarakat bahwa ‘begini lah budaya kami, tradisi dari
papuk-balok[32]
kami’. Masyarakat turut bergembira, tidak ada permusuhan dari para pepadu
meskipun mereka kalah sebab peresean tetap dibawa santai oleh mereka.
Tapi
bukan hanya para tetua-tetua dari keturunan Dewi Mandalika saja maupun dua
orang pangeran yang memperebutkannya (pangeran
Sawing dari kerajaan johor dan pangeran Lipur dari kerajaan lipur) itu yang
bisa/boleh melakukan peresean, tapi masyarakat sekitar baik dari kalangan
bawah, menengah maupun atas juga bisa melakukannya. Karena dari tradisi budaya
tersebut menyebabkan adanya kontaminasi antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat lainnya. Adanya proses penyampaian pesan melalui beberapa media yang
bisa saja digunakan, baik melalui media cetak maupun elektronik.
Perkembangan
siber yang juga sudah semakin meningkat membuat kebanyakan masyarakat tidak
akan sulit mencari berbagai macam informasi. Belum lagi, proses digitalisasi
media yang juga sudah memeluk berbagai wilayah di Indonesia. Memang, jika kita
melihat masih banyak masyarakat yang kondisi keuangan atau rentan sangat bawah
sekali, termasuk di pulau Lombok sendiri. Tapi itu tidak memungkinkan bahwa
mereka tidak bisa menerima maupun menyaksikan pagelaran peresean tersebut.
Belakangan
ini sudah ada tv lokal[33]
yang beredar dilombok, orang-orang bisa menyaksikan peresean tanpa harus pergi
menyaksikan ketempat pagelaran tersebut, dan kemungkinan besar orang-orang yang
terbilang kondisi keuangan yang sangat bawah sekali bisa saja pergi menonton
ketetangganya, karena hubungan antara masyarakatnya cukup baik.
c.
Teks
Budaya dan Maknanya
Penggunaan alternative yang
digunakan oleh Fiske adalah untuk menyediakan istilah ‘teks’ bagi keluaran yang
bermakna dari pertemuan antara konten dan pembaca[34].
Misalnya program ‘televisi’ menjadi sebuah teks pada saat pembacaan, yaitu
ketika interaksi dengan satu dari banyak khalayaknya mengaktifkan sejumlah
makna/kesenangan yang mampu ‘merangsang’[35].
Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa program televisi yang sama dapat
memproduksi banyak teks yang berbeda dalam artian makna yang dicapai.
Sebelumnya kita sudah menyinggung
tentang tv lokal yang ada di Lombok, disana sudah menentukan dan dikhususkan
bahwa konten atau sejenisnya yang dapat ditayangkan dalam siaran tersebut
adalah kebudayaan Lombok, tentu saja salah satunya adalah peresean.
Fiske berpendapat bahwa polisemi
merupakan ciri yang penting dari budaya media popular yang sebenarnya karena
semakin banyak makna potensial, semakin besar kemungkinan daya tarik bagi
khalayak yang berbeda dan kategori sosial yang berbeda dalam keseluruhan
khalayak. Pada bagian sebelumnya kita sudah menyinggung tingkatan masyarakat
yang ada didaerah Lombok. Kalangan bawah, menengah dan atas. Tapi tidak menutup
kemungkinan si kalangan bawah dapat mengambil peran penting dalam peresean dan
kalangan atas atau disebut ningrat entah itu keturunan para raja sekalipun,
mereka hanya menjadi komunikan atau sebatas penikmat jika seandainya kita
berbicara tentang kalangan kerajaan.
d.
Intertekstualitas
Jika kita melihat dari asal muasal
Dewi Mandalika dan tetap berpatokan pada apa yang telah dikemukakan oleh Fiske
sebelumnya ‘teks yang diproduksi oleh pembaca tidak terbatas dalam maknanya
oleh batasan yang ditetapkan dari sisi produksi antar program atau antar kategori
konten’[36].
Intertekstualitas (intertextuality)
bukan hanya pencapaian dari pembaca, tetapi juga ciri dari media itu sendiri
yang terus menerus saling merujuk dari satu media ke lainnya, dan ‘pesan’ media
yang berbeda.
Kode (code) adalah system makna yang aturan serta konvensinya dibagi
kepada anggota budaya atau yang disebut sebagai ‘komunitas interpretatif’ (interpretative community)[37].
Kode membantu menyediakan hubungan antara produsen media dengan khalayak media
dengan menaruh pondasi untuk interpretasi. Kita memaknai dunia dengan mengambil
pemahaman dari kode dan konvensi komunikatif. Gestur, ekspresi, bentuk pakaian,
dan gambar tertentu, misalnya membawa makna yang kurang lebih pasti didalam
budaya tertentu yang dibangun dengan penggunaan dan keakraban. Sebuah contoh
dari kode film (Monaco,1981) adalah gambar yang memadukan wanita menangis,
sebuah bantal dan uang untuk melambangkan rasa malu.
Sama halnya dengan peresean, ketika
pepadu-pepadu saling bertarung dengan berbagai macam gerakan serta menggunakan
tongkat pemukul dari rotan dan ende
untuk menangkis pukulan lawan. Pada setiap gerakkannya seolah memadukan dengan
apa yang terjadi dimasa lalu, tetapi bisa saja terjadi perubahan baik dari
gerakan atau tata cara yang sudah berbeda dari masa lalu. Perbedaan pemikiran
dari kebudayaan ini sendiri sedikit rampung, ada yang mengatakan bahwa asal
usul peresean terjadi karena cerita Dewi Mandalika adapun yang mengatakan atau
versi lawasnya bahwa peresean timbul
dari pelampiasan emosional para raja Sasak ketika akan dan atau telah selesai
menghadapi peperangan melawan musuh-musuhnya. Oleh karena itu, peresean juga
digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan atau memupuk keberanian, ketangkasan
dan ketangguhan seseorang dalam sebuah pertempuran. Darah yang menetes ke bumi
dalam pertarungan peresean akibat sabetan alat pemukul juga diyakini sebagai
simbol turunya hujan, sehingga semakin banyak darah yang menetes, semakin lebat
pula hujan yang akan turun. Namun, masyarakat setempat mencoba untuk
menyelaraskan keadaan yang ada disekitarnya, ini bersifat relative tergantung
dilihat dari aspek mana maka pemikiran itu dapat diterima. Misalnya, ketika
masyarakat meminta hujan untuk membasahi sawah-sawahnya, maka orang-orang
melakukan pagelaran peresean tersebut. Seperti apa yang telah dituturkan oleh
Sahdi pemuda sasak yang berasal dari daerah Sakra, bahwa “Masyarakat di daerah
saya sangat antusias, alasan utama kami yaitu masyarakat daerah sakra adalah
ritual untuk memanggil hujan, yang sudah di laksanakan turun temurun... Di
daerah saya tidak ada nama perkelompokan.. Tapi lebih kepada individu atau
sering di sebut pepadu yang mewakili daerah saya. Salah satu pepadu yang
terkenal di daerah saya adalah garuda
emas dan kelawek bereng... Pepadu
di daerah saya hanya pernah memperkenal kan adat peresean hanya sebatas di
daerah saja”.
Tapi peresean juga sudah diperkenalkan ke korea oleh para
pemuda-pemuda sasak. Terlihat dari video youtube, antusias masyarakat yang
menyaksikan. Meskipun mereka tidak mengetahui apa makna yang ada dalam
peresean, makna yang tengah disampaikan dalam permainan tersebut. Bunyi
kebudayaan yang tersurat dalam kesatuan kehidupan masyarakat sasak.
e. Artefak
Artefak adalah benda apa
saja yang dihasilkan oleh kecerdasan manusia[38]. Aspek ini merupakan
perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan. Disini membahas tentang
benda-benda atau alat yang digunakan oleh para pepadu hingga memiliki makna
tertentu, makna yang meluas dan mampu menyampaikan maksud yang ingin
disampaikan dari apa yang akan ditampilkan.
1.
Alat pemukul, sebuah pemukul yang terbuat dari rotan
2.
Ende, sebuah tameng yang dibuat dari kulit sapi/kerbau
3.
Alat musik, tujuannya untuk menggugah semangat
bertanding para pepadu. Alat-alat musik yang digunakan adalah :
·
Gong, alat musik ini berbentuk bundaran yang
ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat dibundaran tersebut jika
dipukul akan menghasilkan suara yang mendengung.
·
Sepasang kendang. Kendang berbentuk silinder dengan
lubang ditengahnya, terbuat dari kayu dan ditutup oleh kulit sapi atau kambing
yang telah disamak. Gendang ini dimainkan dengan cara ditepuk dengan dua
telapak tangan pada kedua sisinya.
·
Rincik/simbal
·
Kajar
·
Suling, dibuat dari bambu dan diberi lubang agar
menghasilkan bunyi yang merdu. Suling dimainkan oleh seorang sukaha(pemain) dengan cara ditiup.
Sebelumnya,
mari kita menengok realitas sosial yang ada. Manusia adalah aktor yang kreatif
dari realitas sosialnya. Ritzer mengatakan bahwa manusia bebas dalam hubungan
antara individu dengan masyarakat merupakan pandangan beraliran liberal
ekstrem, namun pengaruh aliran ini telah menyebar luas dalam paradigm definisi
sosial.
Ada
pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia sosialnya, bahwa
individu menjadi ‘panglima’ dalam dunia sosialnya yang dikonstruksi berdasarkan
kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun mesin
produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkonstruksi dunia sosialnya[39].
Karena terkadang, orang-orang cenderung menginginkan agar bisa menjadi sorotan
yang lain. Pada dasarnya, seorang individu lebih tampil eksis dengan
mengeluarkan apa yang ada pada dirinya atau dia memiliki kemampuan seperti apa,
sehingga dengan begitu dia bisa tampil dengan perasaan yang lebih percaya diri
dan merasa mampu untuk melakukannya. Secara liberalis, saya beranggapan bahwa
peresean ini suatu tindakan yang bisa menyebabkan kejatuhan korban jiwa ataupun
luka sayatan akibat pukulan benda-benda yang digunakan. Mungkin beda-beda
pendapat, masyarakat sebagai audience yang menyaksikan hanya ikut terbawa oeh
suasana tanpa memikirkan nasib si pemain. Hanya saja pemain lebih cenderung
pula untuk aktif mungkin karena sudah menjadi keterbiasaan. Meskipun ada
pelindung yang digunakan, tapi tidak memungkinkan untuk melindungi sepenuhnya.
f.
Media
ladang Emas
Media yang sekarang cukup mengalami
kepesatan yang terbilang tinggi. Duduk didepan pc atau laptop maupun gadget
sudah menjadi suatu hoby bagi orang-orang yang suka browsing. Maka sebab itulah
adanya budaya Cyber yang bisa saja akan menelan kapasitas orang Indonesia yang
begitu banyaknya. Orang-orang pada saat ini suka browsing youtube. 100 juta
lebih pengguna youtube sering mengunjungi video-video yang berkaitan dengan
kebudayaan. Youtube salah satu jejaring sosial yang memiliki kelebihan yang
berbeda dengan jejaring sosial lainnya. Kita bisa menonton bahkan bisa juga
mendengar suaranya, jadi youtube merupakan media yang cukup terpercaya dalam
proses penyampaian informasi. Kapanpun kita mau menyaksikan, selama video tersebut
belum dihapus oleh si peng-upload kita bisa menyaksikannya sesuka hati. Ibaratnya,
youtube merupakan salah satu ladang emas untuk berbagi. Baik dalam hal video
apa saja.
Media ladang emas selanjutnya
adalah Website. Disetiap situs-situs yang sering kali menjajakan ketenarannya,
inilah salah satu media yang mampu menghantarkan para pencari ilmu pengetahuan.
Terlebih lagi dengan situs yang menyediakan kebudayaan, sudah banyak
sekali.
Terdapat banyak bukti bahwa
penggunaan media dapat memainkan peranan penting dalam ekspresi dan penguatan
identitas untuk berbagai jenis subkelompok. Hal ini tidak mengejutkan karena
media merupakan bagian dari ‘budaya’[40].
g.
Difusi
Inovasi dan Perkembangan
(Lerner,1958) telah menggambarkan pengaruh
media sebagai ‘pembentuk modernisasi’ hanya melalui kebaikan dengan
mempromosikan ide barat dan suara konsumen. Pandangan arus utama dari efek
media adalah sebagai pendidik massa yang bekerjasama dengan pihak berwenang,
para ahli dan pemimpin lokal yang diterapkan untuk tujuan perubahan tertentu[41].
Everet Rogers menggambarkan empat
tingkat model difusi, yaitu : informasi, persuasi, keputusan atau adopsi dan
konfirmasi[42].
Masyarakat mendapatkan informasi dari berbagai sumber, bisa saja dari media
maupun seorang opinion leader yang diceritakan dari satu kelompok orang ke
kelompok lainnya. Persuasi, dengan cara mempersuasif masyarakat agar masyarakat
mau mendengar apa yang kita bicarakan. Keputusan atau adopsi, masyarakat bisa
menyaring segala informasi-informasi, melihat dari aspek mana dan apakah bukti
atau kebenarran rill dari informasi itu dapat diterima dengan akal sehat.
Konfirmasi, bagaimana efek masyarakat dalam penerimaan informasi, terjadi
proses timbale balik dari masyarakat yang menerimanya. Terkadang masyarakat
akan mengikuti silsilah dengan tetap menerapkan apa yang sudah ada dan bisa
jadi dominansi masyarakat akan melakukan hal yang sama. Istilahnya, ada rasa
penghormatan terhadap budaya yang ada.
h. Lingkungan Media
Komunikasi Baru
a.
Televisi Digital
DTV
atau sering kita kenal dengan sebutan digitalisasi televise akan memberikan
kemudahan bagi kita untuk mengakses ke 1.400 sampai dengan 1.500 pilihan
saluran televise, beberapa saluran menawarkan informasi dan pelayanan data
serta beberapa keistimewaan lainnya. Kombinasi dari pengubahan kedalam format digital dan penempatan memungkinkan enam
saluran tv bisa dipancarkan sekaligus diangkasa yang dulunya hanya untuk satu
saluran. Jadi, kemungkinan besar untuk era digitalisasai itu sendiri, kita bisa
menyaksikan baik dari lokal maupun nasional. Dilihat dari lokalnya sendiri,
untuk mencari tahu tentang kebudayaan atau lebih tepatnya peresean itu sendiri,
ingin menyaksikan pertarungan peresean akan lebih mudah lagi. Tidak perlu
kedaerah Lombok, cukup dengan duduk tenang dan menikmati segelas teh hangat itu
pun akan membantu serta pencernaan otak akan mengalir sendiri mengikuti apa
yang kita baca[43].
b.
Internet
Situs
jaringan internet yang terus berkembang pada saat ini, cukup membantu. Lebih
tepatnya, dalam proses pencarian setiap informasi maupun pertontonan peresean
yang ada di Lombok akan sangat mudah.
c.
Agen
Seperti
halnya kita tahu, bahwa aliran informasi dan jumlah saluran yang tersedia
meningkat, sangat mungkin sekali jika orang butuh beberapa bantuan dalam
memilah-milah informasi yang ada.
Membantu
dalam memilah informasi kemungkinan besar terdapat dalam bentuk robot computer (computerized robots), agen-agen atau digital butlers. Hal ini memiliki
beberapa tingkat tiruan dan akan diprogram untuk melakukan berbagai latihan
bagi kita.
i.
Teori
Komunikasi Dunia Maya
Internet adalah jaringan computer
dunia yang mengembangkan ARPANET, suatu system komunikasi yang terkait dengan
pertahanan-keamanan yang dikembangkan pada tahun 1960-an. Manfaat system
komunikasi yang berjaringan ini dengan cepat ditangkap oleh para peneliti dan
pendidik secara umum. Akhir-akhir ini, melalui komputer dirumah , modem, dan
warnet, serta melalui layanan-layanan seperti web-tv, internet hadir untuk
public[44].
Internet memungkinkan hampir semua
orang dibelahan dunia mana pun untuk saling berkomunikasi dengan cepat dan
mudah. Internet mengubah komunikasi dengan beberapa cara fundamental.
Perkembangan baru dalam teknologi
komunikasi seperti internet juga menyebabkan perbedaan antara media massa
semakin tipis dibandingkan sebelumnya. Banyak koran dan sumber siaran berita
sekarang ini memiliki website yang mereka pakai untuk menyalurkan informasi[45].
Streaming video juga memperkenalkan
kemungkinan yang berbeda, menonton tv melalui komputer dirumah. Meskipun
mungkin agak lambat, karena frekuensi yang meningkat di Internet, kita bisa
melihat ekuivalen ribuan channel tv baru sedang ditawarkan melalui internet.
j.
Asumsi
Terhadap Teori Masyarakat Massa
Melihat pergolakan media yang
tengah berkembang pada masa sekarang ini, kita dapat mengambil beberapa asumsi
dari masyarakat yang ada di Lombok yang memiliki adat kebudayaan peresean
tersebut.
1.
Karena media adalah
kekuatan yang sangat kuat dalam masyarakat yang dapat menggerogoti nilai dan
norma sosial sehingga dapat merusak tatanan sosial, hanya saja jika mengarah
kepada pendidikan, seperti halnya dengan peresean tersebut, kemungkinan besar
akan lebih berdampak positif. Dikarenakan, banyak yang mengambil pebelajaran
dari video tersebut. Namun, juga bisa berdampak negative, contohnya : jika
seandainya anak kecil, menyaksikan video tersebut, bisa jadi mereka akan meniru
apa yang dilakukan oleh para pepadu-pepadu tersebut. Dan malah akan berdampak
negative pada si anak. Untuk itulah, tugas orang tua mencoba untuk menjelaskan
dan mengajarkan dengan baik. Apa yang didapat ketika menyaksikan video
tersebut, serta asal-usulnya.
2.
Media dapat
mempengaruhi pemikiran kebanyakan orang, mentransformasikan pandangan mereka
tentang dunia sosial. Tentu saja, apa yang ditampilkan dalam media internet
bisa saja berbeda-beda. Contohnya, asal-usul peresean, ada yang mengatakan
bahwa peresean adalah peresean
timbul dari pelampiasan emosional para raja sasak ketika akan dan atau telah
selesai menghadapi peperangan melawan musuh-musuhnya, dan adapula yang
mengatakan bahwa asalnya dari kisah Dewi Mandalika dan adapun yang mengatakan
bahwa peresean digunakan untuk menurunkan hujan.
3.
Ketika pemikiran seseorang telah ditransformasi oleh media, maka semua
bentuk konsekuensi buruk dalam jangka panjang mungkin terjadi –tidak hanya
dapat menghancurkan kehidupan seseorang, tetapi juga menciptakan masalah sosial
dalam skala besar.
4.
Sebagian besar individu sangat rentan terhadap karena dalam masyarakat
massa mereka terputus dan terisolasi dari lembaga sosial tradisional yang
sebelumnya melindungi mereka dari usaha manipulasi media.
5.
Kerusakan sosial yang disebabkan media mungkin akan dapat diperbaiki
dengan pendirian sebuah tatanan yang totaliter.
6.
Media massa tidak dapat mengelak dari kegiatan yang merendahkan bentuk
budaya yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya penurunan secara umum dalam
peradaban.
Mengapa
media begitu berbahaya dimasyarakat? Itu adalah sebuah pertanyaan yang mungkin
membuat kita sedikit tercengang, karena kita sering kali beranggapan bahwa
media sangat bermanfaat untuk masyarakat, tak heran jika seandainya kita
memiliki pemikiran seperti itu, karena kita sering beranggapan bahwasanya media
cukup memberikan informasi saja, atau media digunakan untuk mengetahui cuaca,
tempak, suhu, geografis dan sebagainya. Tapi sekali lagi, apa yang membuat
media menjadi ancaman? Kita perhatikan, media memiliki kekuatan untuk
menjangkau dan secara langsung dapat mempengaruhi pemikiran orang awam sehingga
pemikiran mereka dapat [46]teracuni.
Fenomena ini sering dikenal dengan asumsi
efek langsung[47]
dan itu telah menjadi perdebatan panas semenjak tahun 1940-an. Walaupun setiap
versi teori masyarakat massa memiliki konsep tersendiri mengenai jenis pengaruh
langsung yang dimiliki setiap media, semua versi tersebut memiliki kesamaan
dalam menekankan tentang betapa pengaruh ini dapat sangat rentannya sebagian
besar masyarakat terhadap perubahan yang disebabkan media. Kebanyakan warga
biasanya pasrah dalam menghadapi kekuatan konten media yang manipulative.
k.
Kemajuan
Di
Amerika Serikat, seperti yang diingatkan oleh Hanson, “Perubahan, corak baru,
dan kemajuan sangat dihargai.”[48].
Masyarakat Amerika mula-mula membuka hutan, mengeringkan rawa-rawa dan mengubah
aliran air untuk “membangun” negara tersebut. Mayarakat Amerika kontemporer
telah pergi ke bulan sebagai pembuktian bahwa mereka mampu melakukannya.
Seperti itulah pemuda-pemuda Lombok yang pada akhirnya mampu melejitkan diri keluar,
meskipun baru dilingkup ASEAN. Sangat membanggakan, atas prestasi dan terlihat
begitu banyak orang-orang yang ada di korea tertarik dengan aksi yang mereka
pertunjukkan. Sekaligus memperkenalkan daerah dan kebudayaan Indonesia, meski
berada di wilayah yang mungkin terbilang sangat sedikit yang mengetahui daerah
itu sendiri. Sampai-sampai daerah yang terpencilpun jarang sekali ada yang tahu,
meskipun begitu sangat kaya akan keragaman adatnya. Mulai dari bahasa, kesopan-santunan,
tempat pariwisata, kebiasaan orang Lombok dan budaya yang bermacam-macam
banyaknya.
l.
Memperkenalkan Daerah dan Budaya lewat video
Seperti
halnya yang kita ketahui, bahwa media tentu saja mampu membombardir budaya
untuk melejitkan diri di negara lain. Bahkan media sendiri mampu memproduksi
suatu film berdurasi pendek sekaligus untuk public.
Pada
video kedua, terlihat bahwa para pemuda-pemuda lombok telah memperkenalkan
budaya sasak ke luar negeri. Tentu saja, ada kebanggaan sendiri untuk Indonesia
terlebih lagi masyarakat Lombok. Disitu kita melihat, antusias para penonton
yang ada dikorea, mereka seolah yang ikut berperan dalam hal itu, sampai-sampai
mereka pun sepertinya ingin maju dan langsung memperagakannya.
Secara
tidak sengaja, disini bermaksud untuk menghubungkan antar kedua negara, yaitu
negara Indonesia dan Korea, sehingga bisa saling mempererat silaturrahmi. Baik
dari rakyat maupun pemerintahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Soelaeman,
Moenandar (1987). Ilmu Budaya Dasar :
Suatu Pengantar. Bandung : Reflika Aditama.
Wardoyo,
Sisca (2010). Dahsyatnya Pikiran Positif :
Biasakan Diri Berfikiran Positif dan Lihatlah Apa yang Terjadi. Yogyakarta
: Manika Books.
Bungin,
Burhan (2007). Sosiologi Komunikasi :
Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi di Komunikasi Masyaraka. Jakarta :
Kencana.
Nasrullah,
Rulli (2012). Komunikasi Antar Budaya :
Di Era Budaya Siber. Jakarta : Kencana.
Littlejhon,
Stephen W. (2012). Teori Komunikasi :
Theories of Human Communication. Jakarta : Salemba Humanika.
McQuail
Denis (2011). Teori Komunikasi Massa McQuail. Jakarta : Salemba Humanika.
J.Severin
Werner (2005). Teori Komunikasi : Sejarah,
Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta : Kencana.
Baran
Stanley J.- Davis Dennis K. (2010). Teori Komunikasi Massa : Dasar, Pergolakan dan Masa Depan. Jakarta : Salemba Humanika.
Mulyana,
Deddy (2000). Ilmu Komunikasi : Suatu
Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya
Bungin,
Burhan (2008). Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen
Serta Kritik Terhadap PETER L. BERGER dan THOMAS LUCKMANN. Jakarta :
Kencana
Samovar, Larry A (2010). Komunikasi Lintas Budaya : Communication Between Cultures. Edisi 7.
Jakarta Selatan : Salemba Humanika
Internet :
Peresean,
Permainan Tradisional Masyarakat Lombok-Budaya.html
Situs
: Wacana Nusantara
Situs
: Budaya Melayu
Sumber
Youtube : Peresean Surelage VS Janeprie kesenian sasak Lombok
http://tulismenulis.com/penerapan-teori-strukturalisme-genetik-dalam-lakon-putri-mandalika-mencinta-untuk-menghidupkan/
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Intertekstual
[1] E.B Taylor (1897) Lihat
Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 19
[2] Kroeber and Klukhon (1950) Lihat Dr. M.
Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 20
[3] Koentjaraningrat (1980)
[4] Sansakerta : Lihat Dr. M. Munandar
Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 21
[5] Lihat Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu
Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 22
[6] Lihat Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya
Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 23
[7] Koentjaraningrat (1985)
a.
Lihat :
Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya
Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 23-24
b.
Lihat :
Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan
Nasional, (1985)-referensi tambahan
c.
Lihat :
Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya
Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 25
[8] Bakker (1984:37)
[9] Bakker (1984 : 37) – Ilmu Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 26
[10] Lihat Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu
Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 26 : a) Kebudayaan subjektif,
terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dalam hierarki
nilai perwujudannya dilihat dari kesehatan badan, penghalusan perasaan,
kecerdasan budi luhur (Lihat : Sisca Wardoyo, Dahsyatnya Pikiran Positif : Biasakan Diri Berpikiran Positif dan
Lihatlah Apa yang Terjadi (2010) hal 37-38) bersama dengan kecakapan untuk
mengkomunikasikannya. Kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan
merupakan puncak-puncak bakat (ultimatum
potatie) dari badan, rasa, kemauan dan akal. Itulah dikonkretisasikan lebih lagi dalam keterampilan, kecekatan, keadilan
kedermawanan, elokuensi, dan
fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh pengalaman
dan pendidikan.
b) Kebudayaan
objektif, ketika nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakan
diri dalam tata lahir sebagai materialisasi
dan institusionalisasi. Dunia
kebudayaan objektif terbentang luas dan serba guna, lalu dihasilkan oleh
orang-orang angkatan sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina, dengan
maju-mundur, dengan pinjam-meminjam antar kebudayaan. Disanalah dialog antara
manusia dan alam memuncak. Dan mulailah nilai-nilai objektif itu disistematisasikan
menurut beberapa prinsip pembagian, antara lain : ilmu pengetahuan, teknologi,
kesosialan, ekonomi dan agama.
[11] Sosiolog Amerika
[12] 1993: 2. Lihat Prof. Dr. H.M. Burhan
Bungin, S.Sos. M.Si, Sosiologi Komunikasi : Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (2006). Hal 27
[13] Lihat Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu
Budaya Dasar : Suatu Pengantar (1987). Hal 27
[14] Karl Marx adalah pendiri sosiologi
beraliran Jerman. Berbeda dengan Claude Henri Saint-Simon, August Comte, dan
Emile Durkheim beraliran Perancis. Lihat Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos.
M.Si, Sosiologi Komunikasi : Teori
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (2006). Hal
17-21
[15] Ritzer (2004:26)
[16] Ritzer, 2004: 187
[17] John Dewey
[18] Ibrahim, 2005: xiii
[19] Uchyana, 2002: 11. Lihat Prof. Dr. H.M.
Burhan Bungin, S.Sos. M.Si, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat
(2006). Hal 31
[20] Lihat Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos.
M.Si, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma,
dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (2006). Hal 31-32
[22] Lihat Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos.
M.Si, Sosiologi Komunikasi : Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (2006). Hal 36
[23] Lihat : Rulli Nasrullah, KOMUNIKASI ANTAR
BUDAYA : Di Era Budaya Siber (2012). Hal 12
[24] Lihat : Rulli Nasrullah, KOMUNIKASI ANTAR
BUDAYA : Di Era Budaya Siber (2012). Hal 13
[25] (2002:1) hal 17
[26] Sebuah perisai untuk menangkis pukulan
lawan
[27] Lihat
: Stephen W. LittleJohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi : Theories of Human Communication Edisi 9
(2009). Hal 65
[28] Lihat
: Stephen W. LittleJohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi : Theories of Human Communication Edisi 9
(2009). Hal 65
[29] Lihat
: Stephen W. LittleJohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi : Theories of Human Communication Edisi 9
(2009). Hal 67
[30] Lihat
: Stephen W. LittleJohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi : Theories of Human Communication Edisi 9
(2009). Hal 57-58
[31] Teori Gadamer (Hans-George Gadamer). Hal
198
[32] Bahasa Lombok yang artinya nenek moyang
terdahulu.
[33] Selaparang tv : yang khusus menyiarkan
konten-konten masyarakat Lombok.
[34] Lihat : Denis McQuail : Teori Komunikasi
Massa : McQuail’s Mass Communication
Theory Edisi 6 Buku : 2 (2011). Hal 130
[35] Lihat : Denis McQuail : Teori Komunikasi
Massa : McQuail’s Mass Communication
Theory Edisi 6 Buku : 2 (2011). Hal 130 (1987:14)
[36] Lihat : Denis McQuail : Teori Komunikasi
Massa : McQuail’s Mass Communication
Theory Edisi 6 Buku : 2 (2011). Hal 132
[37] Sekelompok penggemar dari genre, penulis
atau penampil media yang sama
[38] Lihat : Prof Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. : Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar (2013). Hal 433
[39] Lihat Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S. Sos., M.Si., Konstruksi
Sosial Media Massa : Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan
Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap PETER L. BERGER dan THOMAS LUCKMANN
(2008). Hal 11-12
[40] Lihat : Denis McQuail : Teori Komunikasi
Massa : McQuail’s Mass Communication
Theory Edisi 6 Buku : 2 (2011). Hal 184 (Hebdige, 1978)
[41] Lihat : Denis McQuail : Teori Komunikasi
Massa : McQuail’s Mass Communication
Theory Edisi 6 Buku : 2 (2011). Hal 247
[42] (1962; Rogers dan Shoemaker, 1973)
[43] Lihat : Werner J. Severin James W. Tankard,
Jr : Teori Komunikasi : Sejarah, Metode
dan Terapan di Dalam Media Massa Edisi 5. Hal 5
[44] Hal 443
[45] Lihat : Werner J. Severin James W. Tankard,
Jr : Teori Komunikasi : Sejarah, Metode
dan Terapan di Dalam Media Massa Edisi 5. Hal 445
[46] (Davis,1976)
[47] Lihat : Stanley J. Baran : Teori Komunikas
Massa : Dasar, Pergolakan, dan Massa
Depan (2010) Edisi 5. Hal : 68-70
[48] Lihat : Larry A. Samovar : Komunikasi
Lintas Budaya : Communication Between
Cultures (2010) Edisi 7. Hal : 233